Akhir-akhir ini penggunaan
kata milenial sering kali dipergunakan. Milenial merupakan generasi yang lahir pada
tahun 1980 - 2000. Menurut TIME,
milenial dinilai sebagai generasi yang individualistik,
sangat bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik. Di tengah pandangan bahwa generasi milenial
adalah generasi yang apatis terhadap politik, dunia justru sedang mengalami
naik daunnya politik anak muda atau politik milenial terlepas dari apapun
pandangan politik yang mereka yakini. Kehadiran
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga bisa diartikan naik daunnya politik
milenial di negeri ini, 70% dari
pengurus PSI berusia di bawah 33 tahun,
sehingga tidak salah
jika PSI dilihat sebagai “Partainya
Milenial”. Memasuki tahun 2019, yang dianggap sebagai tahun
politik, berdasarkan
data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih milenial mencapai 70 juta sampai 80 juta jiwa dari 193 juta
pemilih. Artinya, sekitar 35%-40%
hasil pemilu dipengaruhi oleh generasi milenial. Generasi milenial untuk
saat ini bukan hanya sebagai objek
politik tetapi juga sebagai subjek. Sekali lagi, jika mengacu pada kategorisasi
usia dan tahun kelahiran, milenial sudah banyak yang menjadi anggota parlemen
atau bahkan kepala daerah. Hal ini
berarti milenial telah lama
menjadi pelaku utama dari politik nasional. Sayangnya,
bahasan mengenai milenial sebagai subjek ini sangat kurang dalam
pembicaraan-pembicaraan kita. Hal ini
memberikan isyarat bahwa seolah-olah kita adalah generasi di luar dari generasi
milenial itu. Hal ini juga akan
berimplikasi pada sikap kita dalam mengarahkan sumber daya milenial dalam
politik kita.
Sebagai subjek politik, lalu
apa yang membedakan milenial dengan generasi sebelumnya, sepertinya ada kekhawatiran bahwa
kenyataannya untuk Indonesia sendiri tidak ada perbedaan yang
berarti. Ada pihak yang beranggapan bahwa para politisi generasi sebelum
milenial sering disebut ketinggalan zaman dan tidak mampu membentuk negara yang
kuat. Banyak kebijakan yang tidak efektif juga
tidak ada keberlanjutan dalam pembangunan, mengakibatkan pembangunan kita lebih
pada nuansa “gali lubang tutup
lubang” daripada sebuah pembangunan yang berdampak jangka panjang. Namun,
sampai saat ini juga belum ada nuansa khusus yang dibawa oleh politisi generasi
milenial. Mungkin nuansa khususnya terletak pada upaya-upaya marketing politik,
tetapi pada aspek politik kebijakan masih kurang. Milenial yang sering
mengkritik generasi sebelumnya sebagai generasi yang cerewet, korup dan tak
efektif, ternyata belum mampu mewarnai politik Indonesia dengan nuansa yang
baru. Hal-hal yang mempengaruhi
sikap dan pandangan generasi millenial sebagai berikut :
(1) Karakteristik
yang kuat dari generasi millenial ialah tingginya angka literasi dan
keterlibatan mereka di Internet. Milenial
Indonesia memanfaatkan sumber digital untuk mengetahui dan memahami politik
dengan mengandalkan kanal Twitter, Facebook, YouTube, Instagram, LINE, dan WhatsApp untuk membentuk
persepsi mereka tentang politik. Kandidat presiden yang bersaing yang
mempraktekkan politik secara teoretis sekarang perlu mengatasi fenomena politik
baru ini untuk mencapai kesuksesan. Perspektif
para milenial Indonesia adalah, apakah merangkul politik bermanfaat untuk
kebutuhan mendesak serta kreativitas dan imajinasi inovatif mereka. Idealisme
dalam politik, yang berarti komitmen penuh terhadap ideologi politik mulai dari
haluan kiri, Islami, atau liberal, bukanlah perspektif umum di kalangan politik
milenial. Kelompok milenial mempertimbangkan politik berdasarkan dampak nyata
dan langsung bagi mereka. (2) Signifikasi agama. Milenial
Muslim Indonesia sangat kritis terhadap pemerintahan yang berkuasa saat ini
sebagaimana terlihat dalam keunggulan mereka dalam gerakan #2019GantiPresiden.
Mereka bergabung dalam gerakan itu, meskipun kadang-kadang mereka bergabung
tanpa memikirkan apa tepatnya agenda selanjutnya. Kedua kandidat presiden
sebaiknya mengenali kecenderungan ini dan menemukan cara untuk mengubah
strategi politik mereka. Millenial
Muslin Indonesia melestarikan dan memiliki komitmen yang mendalam
terhadap doktrin Islam mereka. Namun,
dalam mempelajari agama, mereka memperoleh materi dari sumber-sumber online,
alih-alih dari lembaga-lembaga otoritatif dan para ahli yang memiliki
pengetahuan dalam studi agama. (3) Millenial
mengaharapkan lebih banyak peran positif. Terdapat asumsi bahwa kelompok
milenial tidak akan menggunakan hak mereka untuk memilih dalam pemilihan
presiden 2019 karena sikap apolitis mereka. Asumsi ini tidak dapat digunakan
sebagai alasan untuk mengabaikan signifikansi mereka. Hal ini akan menjadi kerugian besar bagi Indonesia jika kedua
kandidat presiden Jokowi dan Prabowo mengabaikan pengaruh milenial dalam
pemilihan presiden 2019. Kedua
kandidat ini diharapkan oleh millenial agar merangkul dan memberikan lebih
banyak peran positif kepada mereka. Sehingga, kaum millenial dapat mengerti
kualitas kandidat presiden mereka sesungguhnya.
Namun milenial mungkin tidak akan memberikan
suaranya jika kondisi politik Indonesia tetap seperti ini. Perbedaan pandangan
dan pilihan membuat rakyat Indonesia menjadi terpecah belah. Hal ini membuat
milenial menjadi cuek terhadap politik di Indonesia. Pendukung dari
kedua belah pihak sangat fanatisme terhadap pilihannya. Sehingga, kelompok-kelompok fanatis ini memiliki
kecenderungan untuk merendahkan pendapat yang berlawanan darinya. Secara teori,
perbedaan pandangan politik seharusnya menciptakan pandangan kritis. Alih-alih menciptakan ruang diskusi yang
hangat di antara berbagai pendapat politik, justru seakan-akan menjadi mengkelompok-kelompokkan opini
masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi kurang toleran terhadap opini yang
bertentangan. Inilah penyebab dari polarisasi masyarakat.
Menurut saya, menjelang pemilihan umum tahun 2019
ini, milenial harus bersikap dewasa dalam menghadapi kegaduhan politik yang
terjadi. Milenial harus bersikap kritis dan tidak mudah termakan berita hoax.
Bersikap kritis dan mengklarifikasi berita terlebih dahulu sebelum menyebarnya
jauh lebih bermanfaat daripada berdiam diri dan bersikap acuh tak acuh terhadap
politik. Alasannya sebagai berikut :
(1) Pemilu
ini merupakan pemilu dengan pemilih millenial yang banyak. Banyak sekali
gangguan yang terjadi sehingga terjadi polarisasi dalam masyarakat. Meski
begitu, gejolak yang ada dapat menjadi suatu ladang bagi milenial untuk
mempelajarinya, mengambil hikmahnya, secara komprehensif sehingga gejolak yang
kini ada dapat menjadi suatu pengetahuan baru yang nantinya akan sangat
bermanfaat di era milenial nanti.
(2) Berpikir kritis bagi milenial harus tumbuh tak lain agar milenial
dapat menciptakan diskusi
publik yang sehat, yang diisi oleh ide dan gagasan, yang minim akan sentimen. (3) Millenial tidak dapat
menggantungkan kepemimpinan hanya pada satu individu saja, seperti yang terjadi
sekarang. Mengandalkan
tokoh-tokoh publik yang kini menjadi budaya politik kita suatu saat
nanti akan berakhir. Suka tidak suka harus ada regenerasi kepemimpinan.
Milenial harus bersikap
kritis sejak dini agar ketika terjadi
pergantian kepemimpinan sampai di tangan milenial, mereka sudah siap.
Meski generasi yang lebih senior di
Indonesia masih terlalu kuat, namun desakan
dari generasi muda juga semakin diperhitungkan. Mudah-mudahan terjadi pergantian generasi kepemimpinan yang baik di Indonesia. Bagi pemilih milenial, tentu ini saat yang
baik untuk ikut mendorong alih generasi itu. Menghadapi Pemilu 2019, milenial
seharusnya mulai menyeleksi siapa yang akan mereka pilih. Millenial harus bisa memilih bukan hanya
dari segi fisik tetapi juga dari segi pemikirannya yang bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik
lagi. Persoalan perubahan yang dihadapi manusia
bukanlah mengadopsi hal-hal baru, melainkan sulitnya membuang
kebiasaan-kebiasaan lama.