Cari Blog Ini

Jumat, 15 Februari 2019

Pemuda Berpolitik, Pandangan Milenial terhadap Politik di Indonesia


        Akhir-akhir ini penggunaan kata milenial sering kali dipergunakan. Milenial merupakan generasi yang lahir pada tahun 1980 - 2000. Menurut TIME, milenial dinilai sebagai generasi yang individualistik, sangat bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik. Di tengah pandangan bahwa generasi milenial adalah generasi yang apatis terhadap politik, dunia justru sedang mengalami naik daunnya politik anak muda atau politik milenial terlepas dari apapun pandangan politik yang mereka yakini. Kehadiran Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga bisa diartikan naik daunnya politik milenial di negeri ini, 70% dari pengurus PSI berusia di bawah 33 tahun, sehingga tidak salah jika PSI dilihat sebagai “Partainya Milenial. Memasuki tahun 2019, yang dianggap sebagai tahun politik, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih milenial mencapai 70 juta sampai 80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Artinya, sekitar 35%-40% hasil pemilu dipengaruhi oleh generasi milenial. Generasi milenial untuk  saat ini bukan hanya sebagai objek politik tetapi juga sebagai subjek. Sekali lagi, jika mengacu pada kategorisasi usia dan tahun kelahiran, milenial sudah banyak yang menjadi anggota parlemen atau bahkan kepala daerah. Hal ini berarti milenial telah lama menjadi pelaku utama dari politik nasional. Sayangnya, bahasan mengenai milenial sebagai subjek ini sangat kurang dalam pembicaraan-pembicaraan kita. Hal ini memberikan isyarat bahwa seolah-olah kita adalah generasi di luar dari generasi milenial itu. Hal ini juga akan berimplikasi pada sikap kita dalam mengarahkan sumber daya milenial dalam politik kita.            
Sebagai subjek politik, lalu apa yang membedakan milenial dengan generasi sebelumnya, sepertinya ada kekhawatiran bahwa kenyataannya untuk  Indonesia sendiri tidak ada perbedaan yang berarti. Ada pihak yang beranggapan bahwa para politisi generasi sebelum milenial sering disebut ketinggalan zaman dan tidak mampu membentuk negara yang kuat. Banyak kebijakan yang tidak efektif juga tidak ada keberlanjutan dalam pembangunan, mengakibatkan pembangunan kita lebih pada nuansa “gali lubang tutup lubang” daripada sebuah pembangunan yang berdampak jangka panjang. Namun, sampai saat ini juga belum ada nuansa khusus yang dibawa oleh politisi generasi milenial. Mungkin nuansa khususnya terletak pada upaya-upaya marketing politik, tetapi pada aspek politik kebijakan masih kurang. Milenial yang sering mengkritik generasi sebelumnya sebagai generasi yang cerewet, korup dan tak efektif, ternyata belum mampu mewarnai politik Indonesia dengan nuansa yang baru. Hal-hal yang mempengaruhi sikap dan pandangan generasi millenial sebagai berikut :
(1) Karakteristik yang kuat dari generasi millenial ialah tingginya angka literasi dan keterlibatan mereka di Internet. Milenial Indonesia memanfaatkan sumber digital untuk mengetahui dan memahami politik dengan mengandalkan kanal Twitter, Facebook, YouTube, Instagram, LINE, dan WhatsApp untuk membentuk persepsi mereka tentang politik. Kandidat presiden yang bersaing yang mempraktekkan politik secara teoretis sekarang perlu mengatasi fenomena politik baru ini untuk mencapai kesuksesan. Perspektif para milenial Indonesia adalah, apakah merangkul politik bermanfaat untuk kebutuhan mendesak serta kreativitas dan imajinasi inovatif mereka. Idealisme dalam politik, yang berarti komitmen penuh terhadap ideologi politik mulai dari haluan kiri, Islami, atau liberal, bukanlah perspektif umum di kalangan politik milenial. Kelompok milenial mempertimbangkan politik berdasarkan dampak nyata dan langsung bagi mereka. (2) Signifikasi agama. Milenial Muslim Indonesia sangat kritis terhadap pemerintahan yang berkuasa saat ini sebagaimana terlihat dalam keunggulan mereka dalam gerakan #2019GantiPresiden. Mereka bergabung dalam gerakan itu, meskipun kadang-kadang mereka bergabung tanpa memikirkan apa tepatnya agenda selanjutnya. Kedua kandidat presiden sebaiknya mengenali kecenderungan ini dan menemukan cara untuk mengubah strategi politik mereka. Millenial Muslin Indonesia melestarikan dan memiliki komitmen yang mendalam terhadap doktrin Islam mereka. Namun, dalam mempelajari agama, mereka memperoleh materi dari sumber-sumber online, alih-alih dari lembaga-lembaga otoritatif dan para ahli yang memiliki pengetahuan dalam studi agama. (3) Millenial mengaharapkan lebih banyak peran positif. Terdapat asumsi bahwa kelompok milenial tidak akan menggunakan hak mereka untuk memilih dalam pemilihan presiden 2019 karena sikap apolitis mereka. Asumsi ini tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengabaikan signifikansi mereka. Hal ini akan menjadi kerugian besar bagi Indonesia jika kedua kandidat presiden Jokowi dan Prabowo mengabaikan pengaruh milenial dalam pemilihan presiden 2019. Kedua kandidat ini diharapkan oleh millenial agar merangkul dan memberikan lebih banyak peran positif kepada mereka. Sehingga, kaum millenial dapat mengerti kualitas kandidat presiden mereka sesungguhnya.
Namun milenial mungkin tidak akan memberikan suaranya jika kondisi politik Indonesia tetap seperti ini. Perbedaan pandangan dan pilihan membuat rakyat Indonesia menjadi terpecah belah. Hal ini membuat milenial menjadi cuek terhadap politik di Indonesia. Pendukung dari kedua belah pihak sangat fanatisme terhadap pilihannya. Sehingga, kelompok-kelompok fanatis ini memiliki kecenderungan untuk merendahkan pendapat yang berlawanan darinya. Secara teori, perbedaan pandangan politik seharusnya menciptakan pandangan kritis. Alih-alih menciptakan ruang diskusi yang hangat di antara berbagai pendapat politik, justru seakan-akan menjadi mengkelompok-kelompokkan opini masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi kurang toleran terhadap opini yang bertentangan. Inilah penyebab dari polarisasi masyarakat.
Menurut saya, menjelang pemilihan umum tahun 2019 ini, milenial harus bersikap dewasa dalam menghadapi kegaduhan politik yang terjadi. Milenial harus bersikap kritis dan tidak mudah termakan berita hoax. Bersikap kritis dan mengklarifikasi berita terlebih dahulu sebelum menyebarnya jauh lebih bermanfaat daripada berdiam diri dan bersikap acuh tak acuh terhadap politik. Alasannya sebagai berikut :
(1) Pemilu ini merupakan pemilu dengan pemilih millenial yang banyak. Banyak sekali gangguan yang terjadi sehingga terjadi polarisasi dalam masyarakat. Meski begitu, gejolak yang ada dapat menjadi suatu ladang bagi milenial untuk mempelajarinya, mengambil hikmahnya, secara komprehensif sehingga gejolak yang kini ada dapat menjadi suatu pengetahuan baru yang nantinya akan sangat bermanfaat di era milenial nanti. (2) Berpikir kritis bagi milenial harus tumbuh tak lain agar milenial dapat menciptakan diskusi publik yang sehat, yang diisi oleh ide dan gagasan, yang minim akan sentimen. (3) Millenial tidak dapat menggantungkan kepemimpinan hanya pada satu individu saja, seperti yang terjadi sekarang. Mengandalkan tokoh-tokoh publik yang kini menjadi budaya politik kita suatu saat nanti akan berakhir. Suka tidak suka harus ada regenerasi kepemimpinan. Milenial harus bersikap kritis sejak dini agar ketika terjadi pergantian kepemimpinan sampai di tangan milenial, mereka sudah siap.
            Meski generasi yang lebih senior di Indonesia masih terlalu kuat, namun desakan dari generasi muda juga semakin diperhitungkan. Mudah-mudahan terjadi pergantian generasi kepemimpinan yang baik di Indonesia. Bagi pemilih milenial, tentu ini saat yang baik untuk ikut mendorong alih generasi itu. Menghadapi Pemilu 2019, milenial seharusnya mulai menyeleksi siapa yang akan mereka pilih. Millenial harus bisa memilih bukan hanya dari segi  fisik tetapi juga dari segi pemikirannya yang bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik lagi. Persoalan perubahan yang dihadapi manusia bukanlah mengadopsi hal-hal baru, melainkan sulitnya membuang kebiasaan-kebiasaan lama.